Saturday, June 8, 2013

Eksistensi Orang Banjar Di Malaysia

Tulisan ini merupakan sepenggal catatan perjalanan dalam kajian terbatas tentang orang Banjar di Malaysia, setidaknya berkaitan dengan eksistensi orang Banjar generasi kini. Namun demikian ada hal menarik, eksistensi orang Banjar mampu duduk setara dengan puak-puak Melayu dan etnis lainnya dalam turut serta membangun Malaysia baik dalam strata sosial politik, ekonomi, religi, akademis dan bidang lainnya. Ini adalah buah dari kemampuan orang Banjar melakukan migrasi pada abad-abad lampau masa Kesultanan Banjar, Pasca Perang Banjar dan masa awal kemerdekaan.

Catatan lama beberapa ahli migrasi seperti Naim (1985) menyebutkan orang Banjar salah satu etnis yang memiliki reputasi merantau cukup diperhitungkan, demikian pula kajian yang dilakukan oleh Lesly Potter(2000) dan Levang (2003). Tetapi kajian tiga ahli ini hanya menitikberatkan pada pola migrasi, motif migrasi, pekerjaan. Sangat sedikit memaparkan eksistensinya dan tantangan para generasi Banjar berikutnya.

Generasi kini Banjar di Malaysia boleh dikatakan generasi para migran petani sawah yang menaklukkan rawa-rawa pesisir Semenanjung Malaya dan Sumatera, petani kebun kelapa dan para mantan pejuang-pejuang perang Banjar sekalipun pada gerakan berikutnya merupakan perantau yang dikarenakan kemiskinan Negeri Banjar atau kelompok yang melakukan leaping frog dari Tembilan dan Muara Tungkal (Arbain, 2007) yang mayoritas sub rumpun hulu sungai seperti Alai, Amandit dan Kelua.

Bagaimana eksistensi orang Banjar dalam pencapaiannya bersama membangun Malaysia? Ada tiga asumsi yang bisa disampaikan, pertama; kehadiran orang Banjar di Malaysia karena kemampuan memperkenalkan teknologi pertanian tadah hujan dengan pola parit dalam rangka menaklukkan rawa-rawa yang pada berikutnya diadaptasi oleh kelompok Melayu. Pemanfaatan lahan rawa menjadi persawahan kemudian perkebunan kelapa besar-besaran merupakan komoditi ekonomis saat itu melahirkan interaksi yang harmonis dengan puak melayu. Pola ini mirip dengan kehadiran orang Banjar di Semenanjung Sumatera.

Kedua, kultural orang Banjar dimana membangun perkampungan selalu ada masjid dan langgar hingga pendidikan Islam (Madrasah) melahirkan interaksi positif apalagi dengan kekuatan para migran yang dikenal taat beragama dan hadirnya para Tuan Guru melakukan dakwah dan ajaran Syech Arsyad Al-Banjari dengan kitab Sabilal Muhtadin menjadikan posisi orang Banjar berterima bagi orang Melayu.

Ketiga, merupakan asumsi yang belum banyak dibahas adalah kehadiran orang Banjar dalam barisan depan menyokong maruah etnis Melayu baik kasus melawan serangan tentara Kerajaan Thailand (sisa-sisa semangat pasca perang Banjar), kemudian tahun 1945-an keterlibatan melawan komunis dan Peristiwa 13 Mei 1969 keterlibatan orang Banjar sangat dikenal dari Kampung Banjar Sungai Manik (Perak) dan Batu Pahat (Johor) bergerak menuju Kuala Lumpur dalam kerusuhan antara Tionghoa dan Melayu.

Ketiga asumsi ini setidaknya memberikan ruang eksistensi orang Banjar di Malaysia hingga pada periode generasi berikutnya. Namun demikian, orang Banjar pun mengalami dilemma khususnya pada soal identitas etnis dan identitas kultural. Fakta ini setidaknya sekalipun merupakan proses alamiah karena persoalan perkawinan campur juga karakter Banjar yang dikenal oleh etnis Melayu temperamental dan faktor euphoria barisan depan (jagau) peristiwa perang di Malaysia oleh leluhur mereka, menyebabkan sebagian generasi Banjar menyembunyikan identitas Banjarnya. Meskipun tetap diperhitungkan dalam bagian rumpun Melayu Malaysia.

Sedangkan dilemma identitas kultural diduga karena kelompok migrant yang datang ke Malaysia bukanlah kelompok yang memahami banyak seni budaya, tetapi profesi petani, pekebun, pejuang dan tuan guru yang bisa dikatakan hampir tidak ada penguatan. Sebagaimana teori-teori adaptasi, akhirnya orang Banjar mengadaptasi penuh budaya Melayu dari penduduk tempatan yang dikarenakan ada faktor kemiripan dalam selera seni-budaya, sesuatu yang berbeda dengan etnis Jawa terhadap budaya Melayu. Inilah bagian dari lemahnya identitas cultural khas Banjar dimana kedepan perlu dilakukan langkah-langkah strategis.

Dalam sosial ekonomi, generasi Banjar khususya mereka yang tinggal di pedesaan sebagian tidak meneruskan tradisi bersawah dan berkebun. Mereka lebih memilih mencari pekerjaan ke Kuala Lumpur baik menjadi buruh pabrik atau berdagang (commuting), sebagian mereka di desa bertahan dengan eksitensifikasi dan intensifikasi pertanian dan perkebunan dari Kelapa ke Sawit. Arus urbanisasi bagi etnis Banjar ini juga diikuti oleh mereka yang mengecap pendidikan sampai ke perguruan tinggi di perkotaan.

Generasi berpendidikan inilah akhirnya yang mengambil posisi pada pekerjaan sebagai kaki tangan kerajaan (pegawai pemerintah), mufti, Rektor dan dosen, anggota Parlimen termasuk anggota Kabinet Pemerintah Berkuasa dari Barisan Nasional.

Dalam setiap kesempatan berkuasa partai pemenang (Barisan Nasional), selain menjabat di partai oposisi, orang Banjar setidaknya 4 hingga 5 orang dipercaya menjabat sebagai Menteri dan sebagian juga menjabat sebagai Deputy Menteri (Wakil Menteri) Negara Malaysia termasuk 3 tahun yang lalu Kepala Polisi Diraja Malaysia (setingkat Kepala Polri) dijabat oleh orang Banjar. Kesempatan dalam dunia pendidikan, sosial politik dan ekonomi di Malaysia menjadikan generasi ini terus menapak sekaligus dilemma krisis identitas etnis dan kultural.

Inilah sekilas gambaran orang Banjar generasi kini di Malaysia dengan kebertahanan etos kerja, etos religi dan etos didiknya dari bermula kedatangan para leluhur mereka dengan segala kegalauan, kesedihan kalah perang dan kemiskinan di negeri Banjar hingga generasi kini mampu terlibat dan mampu dengan kecakapan dan kecerdasan bersama etnis lainnya dalam membangun Malaysia.

Sumber : Pusat Kajian Kebudayaan Banjar

No comments:

Post a Comment